Fenomena “Crunch Culture” di Industri Game— Side-Talk by Tresnaadin

Tresna Adi Nugroho
4 min readJun 10, 2021

--

Game Development

Dalam beberapa tahun terakhir kita disuguhkan beberapa game yang memiliki grafis dan gameplay menarik, dan seringkali kita terpukau dengan game — game tersebut. Sebut saja game — game seperti Red Dead Redemption 2, God of War, The Last of Us Part II, hingga yang paling terbaru yaitu Cyberpunk 2077. Tapi dibalik game yang memukau itu, pembuatan nya memiliki pengorbanan tersendiri.

“Bermain video game memang menyenangkan, tetapi lain cerita untuk pembuatan video game itu sendiri.”

Ya, itulah bunyi salah satu kalimat yang saya kutip dari tulisan di laman Business Insider mengenai sebuah fenonema yang disebut “Crunching” atau “Crunch Culture”. Dalam artikel saya kali ini, saya akan mencoba membahas fenomena yang dikenal dengan sebutan “Crunch Time” ini.

Definisi “Crunching”

Jadi apa arti dari Crunching itu? Istilah Crunching merujuk kedalam sebuah proses kerja malam dan akhir pekan untuk mencapai tenggat waktu yang ketat. Tetapi berbeda dengan profesi lain yang mengumpulkan karyawan untuk bekerja lembur di akhir proyek, crunch dalam pengembangan game disini bisa bersifat permanen hingga menjadi “habbit” atau kebiasaan tersendiri sehingga menjadi proses yang melelahkan bagi para karyawan di perusahaan tersebut.

Seperti yang dikutip dari artikel di Reporter, menurut Jacob Kemp-Schneider, seorang Desainer dan Pengembangan Game di tahun kedua, menyatakan, “Crunching adalah area abu-abu, karena sangat meningkatkan produktivitas, selain itu juga sangat melelahkan.”

Kasus “Crunch Culture”

Kasus “crunch culture” yang dilakukan perusahaan — perusahaan Developer game terkemuka membuat kontroversi tersendiri di kalangan penggiat industri game. Sebagai salah satu contoh “crunch culture” yang sempat membuat heboh adalah kenyataan dibalik pembuatan Red Dead Redemption 2 sebagai salah satu masterpiece karya Rockstar Games, terdapat “Crunch Time” sebanyak 100 jam/minggu bagi karyawan nya yang dibeberkan oleh Dan Houser, Co-Founder dari Rockstar kepada New York Magazine.

Red Dead Redemption 2

Jika crunching ini dilakukan secara rutin, tentu nya akan menimbulkan banyak hal yang berakibat jangka panjang bagi karyawan nya, baik secara fisik ataupun mental. Di satu sisi, kegiatan crunch culture ini bertujuan untuk mempercepat proses sebuah pembuatan game hingga dengan mem-push para karyawan nya untuk menyelesaikan task yang diberikan dalam tenggat waktu yang relatif singkat serta beban kerja yang cukup besar.

Tetapi jika kita lihat dari sudut pandang lain, memang beberapa dari pengembangan proyek Game yang “ternyata” menggunakan Crunch Time dibaliknya, memiliki hasil yang bisa disebut “Masterpiece”. Entah karena grafis nya yang memukau, gameplay yang sangat memanjakan pemain nya atau karena game tersebut memiliki cerita yang epic.

Di satu sisi penggunaan crunch time yang tidak tepat akan menghasilkan output game yang tidak baik pula. Sebagai contoh kasus yang baru — baru ini terjadi di industri game adalah crunch time yang dilakukan oleh CD Projek Red dibalik pembuatan Cyberpunk 2077.

Cyberpunk 2077

Jika kita melihat kilas balik dari Teaser pertama dari Cyberpunk 2077 pada tahun 2013, membuat banyak penggiat game diluar sana yang mengharapkan Cyberpunk 2077 akan memenuhi ekspetasi mereka, apalagi dengan tema dan konsep yang terbilang “unik” dan dengan grafis game yang memukau pada tahun itu.

Setelah bertahun — tahun melewati tahap pengembangan, akhirnya Cyberpunk 2077 pun dirilis pada tahun 2020. Tetapi nyata nya game tersebut dirilis dengan beberapa masalah yang menyertai nya. Dari beberapa masalah yang ada di Cyberpunk 2077, masalah di platform console lah mungkin paling besar sehingga mengakibatkan ditariknya Game Cyberpunk 2077 dari Playstation Store hingga waktu yang belum ditentukan.

Dari artikel yang dikutip The Verge, developer dari CD Projek Red pun pada akhirnya mengingkari janji mereka untuk mewajibkan karyawan mereka bekerja 6 hari dalam seminggu meskipun studio telah berulang kali dan secara eksplisit berjanji tidak akan pernah melakukan itu, seperti yang Bloomberg laporkan.

Game Development on Progress

Apakah “Crunch Culture” adalah sebuah solusi?

Melihat dampak negatif dari crunch culture yang bisa dibilang mungkin sangat terasa bagi karyawan nya, apakah crunch culture itu sendiri bisa disebut sebagai solusi atas bagus atau tidak nya sebuah Project Game?

Dikutip dari sebuah artikel di Kotaku, lembur berlebihan atau “crunch time” mungkin telah lama menjadi kenyataan di industri video game. Meskipun beberapa perusahaan telah mengambil langkah untuk berusaha mengurangi atau menghilangkan “crunch culture” (ada juga yang tidak). Tetapi beberapa pembuat video game top dunia bersikeras bahwa satu-satunya cara untuk membuat game terbaik di dunia adalah dengan menambah jam kerja atau dengan adanya “crunch time” itu sendiri. Bahkan, beberapa studio game top dunia, seperti Rockstar Games, Naughty Dog (Uncharted), dan CD Projekt Red (The Witcher), terkenal suka menerapkan crunch culture dalam pengembangan game mereka.

Mungkin beberapa game dengan penerapan crunch culture didalamnya pada akhirnya akan memberikan aspek game yang sangat bagus, baik pada Gameplay, Story, maupun grafis nya. Segala usaha dan kerja keras para developer nya pun mungkin bisa dianggap “worth it” dengan hasil tenaga ekstra yang mereka keluarkan untuk project game tersebut.

Tetapi tidak ada salah nya untuk melakukan perbaikan manajemen dari pengembangan game itu sendiri sehingga crunch culture bisa diminimalisir serta kesehatan fisik maupun mental dari karyawan Game Developer pun bisa terjaga dengan baik.

Sepertinya memang agak sulit bagi para pengembang game diluar sana untuk terus memaksimalkan pengembangan mereka sekaligus menjaga aspek seperti manajemen kerja di dalamnya selaras. Mungkin pada akhirnya di masa yang akan datang akan ada inovasi agar habit seperti crunch culture bisa diminimalisir tetapi tetap menjaga kualitas hasil game yang sedang dikembangkan.

Mungkin cukup sekian dari artikel Side-Talk kali ini, dan sampai berjumpa di artikel — artikel selanjutnya!

See You Later!

--

--